BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 23 November 2010

Lingkungan, Masyarakat dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan – CSR

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan – CSR

Penggunaan istilah Tanggungjawab Sosial Perusahaan atau atau Corporate Social Responsibility (CSR) akhir-akhir ini semakin populer dengan semakin meningkatnya praktek tanggung jawab sosial perusaan, dan diskusi-diskusi global, regional dan nasional tentang CSR.

Istilah CSR yang mulai dikenal sejak tahun 1970-an, saat ini menjadi salah satu bentuk inovasi bagi hubungan perusahaan dengan masyarakat dan konsumen. CSR kini banyak diterapkan baik oleh perusahaan multi-nasional maupun perusahaan nasional atau lokal. CSR adalah tentang nilai dan standar yang berkaitan dengan beroperasinya sebuah perusahaan dalam suatu masyarakat. CSR diartikan sebagai komitmen usaha untuk beroperasi secara legal dan etis yang berkonstribusi pada peningkatan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas dalam kerangka mmewujudkan pembangunan berkelanjutan.

CSR berakar dari etika dan prinsip-prinsip yang berlaku di Perusahaan dan dimasyarakat. Etika yang dianut merupakan bagian dari budaya (corporate culture); dan etika yang dianut masyarakat merupakan bagian dari budaya masyarakata. Prisnsip-prinsip atau azas yang berlaku di masyarakat juga termasuk berbagai peraturan dan regulasi pemerintah sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan.

Menurut Jones (2001) seseorang atau lembaga dapat dinilai membuat keputusan atau bertindak etis bila: 1) Keputusan atau tindakan dilakukan berdasarkan nilai atau standar yang diterima dan berlaku pada lingkungan organisasi yang bersangkutan. 2) Bersedia mengkomunikasikan keputusan tersebut kepada seluruh pihak yang terkait. 3) Yakin orang lain akan setuju dengan keputusan tersebut atau keputusan tersebut mungkin diterima dengan alasan etis.

Suatu perusahaan seharusnya tidak hanya mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, tetapi juga mempunyai etika dalam bertindak menggunakan sumberdaya manusia dan lingkungan guna turut mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pengukuran kinerja yang semata dicermati dari komponen keuangan dan keuntungan (finance) tidak akan mampu membesarkan dan melestarikan , karena seringkali berhadapan dengan konflik pekerja, konflik dengan masyarakat sekitar dan semakin jauh dari prinsip pengelolaan lingkungan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

CSR dan TBL

Sebagai sebuah inovasi sosial baru dalam kehidupan bersama antara perusahaan dengan masyarakat, pemahaman tentang CSR oleh masyarakat perlu ditingkatkan, termasuk masyarakat kampus. Bagaimana masyarakat kampus akan memberikan inovasi dan berkontribusi bagi implementasi CSR untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kualitas SDM bila masyarakat kampus belum memiliki pemahaman yang memadai tentang CSR dan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam implementasi CSR. Pada hal CSR memiliki potensi besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan secara akademik akan berkembang menjadi sebuah trans-disiplin yang menggabungkan antara aspek-aspek ilmiah dengan aspek-aspek praktis di masyarakat.

John Elkington (1997) sebagai seorang akademisi, merumuskan Triple Bottom Line (TBL) atau tiga faktor utama operasi perusahaan dalam kaitannya dengan lingkungan dan manusia, yaitu faktor manusia dan masyarakat (people), faktor ekonomi dan keuntungan (profit), serta faktor lingkungan (Planet). Ketika faktor ini juga terkenal dengan sebutan triple-P (3P) yaitu people, profit and planet. Ketiga faktor ini berkaitan satu sama lain. Masyarakat tergantung pada ekonomi; ekonomi dan keuntungan perusahaan tergantung pada masyarakat dan lingkungan, bahkan ekosistem global. Ketiga komponen TBL ini bersifat dinamis tergantung kondisi dan tekanan sosial, politik, ekonomi dan lingkungan, serta kemungkinan konflik kepentingan.

TBL digunakan sebagai kerangka atau formula untuk mengukur dan menlaporkan kinerja perusahaan mencakup parameter-parameter ekonomi, sosial dan lingkungan dengan memperhatikan kebutuhan stakeholdes (konsumen, pekerja, mitra bisnis, pemerintah, masyarakat lokal dan masyarakata luas) dan shareholders, guna meminimalkan gangguan atau kerusakan pada manusia dan lingkungan dari berbagai aktifitas perusahaan.

TBL bukan skedar laporan kinerja tetapi juga sebagai suatu pendekatan untuk memperbaiki pengambilan keputusan tentang kebijakan dan program ke arah yang lebih baik dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, lingkungan dan masyarakat sekaligus. Penerapan konsep TBL ini berkembang pesat oleh – di Amerika, Kanada, Eropa dan Australia. Berbagai di Indonesia juga mulai menerapkannnya.

Prinsip TBL secara legal sudah lama dianut pemerintah Indonesia, sejak negara Indonesia berdiri, seperti tercantum dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan komponen planet atau lingkungan dari konsep TBL. Kemakmuran merupakan komponen profit atau ekonomi dari konsep TBL. Rakyat merupakan komponen people atau masyarakat dari konsel TBL. Hal ini berarti pengelolaan sumberdaya alam Indonesia seharusnya ditujukan untuk peningkatan kualitas manusia dan lingkungannnya (kemakmuran rakyat)

Berdasarkan konsep TBL tersebut seharusnya konsep dan implementasi CSR mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial dalam peningkatan kualitas hidup pekerja beserta keluarganya serta masyarakat, termasuk konsumen. Dalam perjalanannya, implementasi CSR kadangkala mengalami pembiasan dari nilai-nilai CSR yang “asli”. Pembiasan itu tampak manakala perusahaan hanya melakaukan kegiatan bantuan atau charity atau “pemadam konflik sementara“ kepada masyarakat yang kemudian dianggap sebagai program CSR. Pada hal CSR ideal tidak sekedar sebagai program bantuan untuk menghindari tekanan dari pihak lain, misalnya tekanan masyarakat ataupun sebagai alat kehumasan untuk membentuk citra baik, melainkan merupakan kegiatan pemberdayaan yang berkesinambungan ke arah yang lebih baik.

CSR yang dilakukan oleh – di Indonesia akan berbeda satu sama lain tergantung pada konteks masalah yang dihadapi masyarakat. Perbedaan konteks ini juga akan berimplikasi kepada perbedaan strategi pendekatan yang dilakukan oleh masing-masing. Keberadaan CSR di suatu daerah juga tidak pernah terlepas dari sistem kemitraan kelembagaan yang ada di sekitarnya. Pemerintah, lembaga adat, LSM, dan lembaga sosial masyarakat lainnya juga turut memberikan warna terhadap kegiatan CSR. Keberadaan stakeholder ini bisa hadir sebagai penunjang keberhasilan CSR ataupun sebaliknya, jika proses sinergi di antara para pelaku tersebut tidak dilakukan. (Oleh: Prof. Dr. Hardinsyah, MS)

sumber : http://fema.ipb.ac.id/index.php/lingkungan-masyarakat-dan-tanggung-jawab-sosial-perusahaan-csr/

Etika Bisnis

Pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan suatu bidang perilaku manusia yang penting.

Apa yang diharapkan dan mengapa kita mempelajari Etika Bisnis?

Menurut K. Bertens, ada 3 tujuan yang ingin dicapai, yaitu :

1. Menanamkan atau meningkakan kesadaran akan adanya demensi etis dalam bisnis. Menanamkan, jika sebelumnya kesadaran itu tidak ada, meningkatkan bila kesadaran itu sudah ada, tapi masih lemah dan ragu. Orang yang mendalami etika bisnis diharapkan memperoleh keyakinan bahwa etika merupakan segi nyata dari kegiatan ekonomis yang perlu diberikan perhatian serius.

2. Memperkenalkan argumentasi moral khususnya dibidang ekonomi dan bisnis,

serta membantu pebisnis/calon pebisnis dalam menyusun argumentasi moral yang tepat. Dalam etika sebagai ilmu, bukan Baja penting adanya norma-norma moral, tidak kalah penting adalah alasan bagi berlakunya norma-norma itu. Melalui studi etika diharapkan pelaku bisnis akan sanggup menemukan fundamental rasional untuk aspek moral yang menyangkut ekonomi dan bisnis.

3. Membantu pebisnis/calon pebisnis, untuk menentukan sikap moral yang tepat didalam profesinya (kelak).

Hal ketiga ini memunculkan pertanyaan, apakah studi etika ini menjamin seseorang akan menjadi etis juga? Jawabnya, sekurang-kurangnya meliputi dua sisi berikut, yaitu disatu pihak, harus dikatakan : etika mengikat tetapi tidak memaksa. Disisi lain, studi dan pengajaran tentang etika bisnis boleh diharapkan juga mempunyai dampak atas tingkah laku pebisnis. Bila studi etika telah membuka mata, konsekuensi logisnya adalah pebisnis bertingkah laku menurut yang diakui sebagai hal yang benar.

Tiga aspek pokok dari bisnis yaitu : dari sudut pandang ekonomi, hukum dan etika.

1. Sudut pandang ekonomis.

Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi disini adalah adanya interaksi antara produsen/perusahaan dengan pekerja, produsen dengan konsumen, produsen dengan produsen dalam sebuah organisasi. Kegiatan antar manusia ini adalah bertujuan untuk mencari untung oleh karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi dilakukan melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak. Dari sudut pandang ekonomis, good business adalah bisnis yang bukan saja menguntungkan, tetapi juga bisnis yang berkualitas etis.

2. Sudut pandang moral.

Dalam bisnis, berorientasi pada profit, adalah sangat wajar, akan tetapi jangankeuntungan yang diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain. Tidak semua yang bisa kita lakukan bolehdilakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan, bahwa dengan itu kita sendiri tidak dirugikan, karena menghormati kepentingan dan hak orang lain itu juga perlu dilakukan demi kepentingan bisnis kita sendiri.

3. Sudut pandang Hukum

Bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga terikat dengan "Hukum" Hukum Dagang atau Hukum Bisnis, yang merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam hubungan bisnis, pada taraf nasional maupun international. Seperti etika, hukum juga merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu bila terjadi pelanggaran. Bahkan pada zaman kekaisaran Roma, ada pepatah terkenal : "Quid leges sine

moribus" yang artinya : "apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas "

Lalu apa tolok ukur bahwa bisnis itu baik menurut tiga sudut pandang tadi?

Untuk sudut pandang ekonomis, jawaban pertanyaan ini lebih mudah, yaitu bila bisnis memberikan profit, dan hal ini akan jelas terbaca pada laporan rugi/laba perusahaan di akhir tahun. Dari sudut pandang hukum pun jelas, bahwa bisnis yang baik adalah yang diperbolehkan oleh sistem hukum yang berlaku. (penyelundupan adalah bisnis yang tidak baik). Yang lebih sulit jawabnya adalah bila bisnis dilihat dari sudut pandang moral. Apa yang menjadi tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan bisnis.
Dari sudut pandang moral, setidaknya ada 3 tolok ukur yaitu : nurani, Kaidah Emas, penilaian umum.

1.Hati nurani:

Suatu perbuatan adalah baik, bila dilakukan susuai dengan hati nuraninya, dan perbuatan lain buruk bila dilakukan berlawanan dengan hati nuraninya. Kalau kita mengambil keputusan moral berdasarkan hati nurani, keputusan yang diambil "dihadapan Tuhan" dan kita sadar dengan tindakan tersebut memenuhi kehendak Tuhan.

2. Kaidah Emas :

Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan Kaidah Emas (positif), yang berbunyi : "Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan" Kenapa begitu? Tentunya kita menginginkan diperlakukan dengan baik. Kalau begitu yang saya akan berperilaku dengan baik (dari sudut pandang moral). Rumusan Kaidah Emas secara negatif : "Jangan perlakukan orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda" Saya kurang konsisten dalam tingkah laku saya, bila saya melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang saya tidak mau akan dilakukan terhadap diri saya. Kalau begitu, saya berperilaku dengan cara tidak baik (dari sudut pandang moral).

3. Penilaian Umum :

Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada masyarakat umum untuk menilai. Cara ini bisa disebut juga audit sosial. Sebagaimana melalui audit dalam arti biasa sehat tidaknya keadaan finansial suatu perusahaan dipastikan, demikian juga kualitas etis suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum.

sumber : http://www.scribd.com/doc/18575776/ETIKA-BISNIS