BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 23 November 2010

Lingkungan, Masyarakat dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan – CSR

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan – CSR

Penggunaan istilah Tanggungjawab Sosial Perusahaan atau atau Corporate Social Responsibility (CSR) akhir-akhir ini semakin populer dengan semakin meningkatnya praktek tanggung jawab sosial perusaan, dan diskusi-diskusi global, regional dan nasional tentang CSR.

Istilah CSR yang mulai dikenal sejak tahun 1970-an, saat ini menjadi salah satu bentuk inovasi bagi hubungan perusahaan dengan masyarakat dan konsumen. CSR kini banyak diterapkan baik oleh perusahaan multi-nasional maupun perusahaan nasional atau lokal. CSR adalah tentang nilai dan standar yang berkaitan dengan beroperasinya sebuah perusahaan dalam suatu masyarakat. CSR diartikan sebagai komitmen usaha untuk beroperasi secara legal dan etis yang berkonstribusi pada peningkatan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas dalam kerangka mmewujudkan pembangunan berkelanjutan.

CSR berakar dari etika dan prinsip-prinsip yang berlaku di Perusahaan dan dimasyarakat. Etika yang dianut merupakan bagian dari budaya (corporate culture); dan etika yang dianut masyarakat merupakan bagian dari budaya masyarakata. Prisnsip-prinsip atau azas yang berlaku di masyarakat juga termasuk berbagai peraturan dan regulasi pemerintah sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan.

Menurut Jones (2001) seseorang atau lembaga dapat dinilai membuat keputusan atau bertindak etis bila: 1) Keputusan atau tindakan dilakukan berdasarkan nilai atau standar yang diterima dan berlaku pada lingkungan organisasi yang bersangkutan. 2) Bersedia mengkomunikasikan keputusan tersebut kepada seluruh pihak yang terkait. 3) Yakin orang lain akan setuju dengan keputusan tersebut atau keputusan tersebut mungkin diterima dengan alasan etis.

Suatu perusahaan seharusnya tidak hanya mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, tetapi juga mempunyai etika dalam bertindak menggunakan sumberdaya manusia dan lingkungan guna turut mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pengukuran kinerja yang semata dicermati dari komponen keuangan dan keuntungan (finance) tidak akan mampu membesarkan dan melestarikan , karena seringkali berhadapan dengan konflik pekerja, konflik dengan masyarakat sekitar dan semakin jauh dari prinsip pengelolaan lingkungan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

CSR dan TBL

Sebagai sebuah inovasi sosial baru dalam kehidupan bersama antara perusahaan dengan masyarakat, pemahaman tentang CSR oleh masyarakat perlu ditingkatkan, termasuk masyarakat kampus. Bagaimana masyarakat kampus akan memberikan inovasi dan berkontribusi bagi implementasi CSR untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kualitas SDM bila masyarakat kampus belum memiliki pemahaman yang memadai tentang CSR dan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam implementasi CSR. Pada hal CSR memiliki potensi besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan secara akademik akan berkembang menjadi sebuah trans-disiplin yang menggabungkan antara aspek-aspek ilmiah dengan aspek-aspek praktis di masyarakat.

John Elkington (1997) sebagai seorang akademisi, merumuskan Triple Bottom Line (TBL) atau tiga faktor utama operasi perusahaan dalam kaitannya dengan lingkungan dan manusia, yaitu faktor manusia dan masyarakat (people), faktor ekonomi dan keuntungan (profit), serta faktor lingkungan (Planet). Ketika faktor ini juga terkenal dengan sebutan triple-P (3P) yaitu people, profit and planet. Ketiga faktor ini berkaitan satu sama lain. Masyarakat tergantung pada ekonomi; ekonomi dan keuntungan perusahaan tergantung pada masyarakat dan lingkungan, bahkan ekosistem global. Ketiga komponen TBL ini bersifat dinamis tergantung kondisi dan tekanan sosial, politik, ekonomi dan lingkungan, serta kemungkinan konflik kepentingan.

TBL digunakan sebagai kerangka atau formula untuk mengukur dan menlaporkan kinerja perusahaan mencakup parameter-parameter ekonomi, sosial dan lingkungan dengan memperhatikan kebutuhan stakeholdes (konsumen, pekerja, mitra bisnis, pemerintah, masyarakat lokal dan masyarakata luas) dan shareholders, guna meminimalkan gangguan atau kerusakan pada manusia dan lingkungan dari berbagai aktifitas perusahaan.

TBL bukan skedar laporan kinerja tetapi juga sebagai suatu pendekatan untuk memperbaiki pengambilan keputusan tentang kebijakan dan program ke arah yang lebih baik dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, lingkungan dan masyarakat sekaligus. Penerapan konsep TBL ini berkembang pesat oleh – di Amerika, Kanada, Eropa dan Australia. Berbagai di Indonesia juga mulai menerapkannnya.

Prinsip TBL secara legal sudah lama dianut pemerintah Indonesia, sejak negara Indonesia berdiri, seperti tercantum dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan komponen planet atau lingkungan dari konsep TBL. Kemakmuran merupakan komponen profit atau ekonomi dari konsep TBL. Rakyat merupakan komponen people atau masyarakat dari konsel TBL. Hal ini berarti pengelolaan sumberdaya alam Indonesia seharusnya ditujukan untuk peningkatan kualitas manusia dan lingkungannnya (kemakmuran rakyat)

Berdasarkan konsep TBL tersebut seharusnya konsep dan implementasi CSR mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial dalam peningkatan kualitas hidup pekerja beserta keluarganya serta masyarakat, termasuk konsumen. Dalam perjalanannya, implementasi CSR kadangkala mengalami pembiasan dari nilai-nilai CSR yang “asli”. Pembiasan itu tampak manakala perusahaan hanya melakaukan kegiatan bantuan atau charity atau “pemadam konflik sementara“ kepada masyarakat yang kemudian dianggap sebagai program CSR. Pada hal CSR ideal tidak sekedar sebagai program bantuan untuk menghindari tekanan dari pihak lain, misalnya tekanan masyarakat ataupun sebagai alat kehumasan untuk membentuk citra baik, melainkan merupakan kegiatan pemberdayaan yang berkesinambungan ke arah yang lebih baik.

CSR yang dilakukan oleh – di Indonesia akan berbeda satu sama lain tergantung pada konteks masalah yang dihadapi masyarakat. Perbedaan konteks ini juga akan berimplikasi kepada perbedaan strategi pendekatan yang dilakukan oleh masing-masing. Keberadaan CSR di suatu daerah juga tidak pernah terlepas dari sistem kemitraan kelembagaan yang ada di sekitarnya. Pemerintah, lembaga adat, LSM, dan lembaga sosial masyarakat lainnya juga turut memberikan warna terhadap kegiatan CSR. Keberadaan stakeholder ini bisa hadir sebagai penunjang keberhasilan CSR ataupun sebaliknya, jika proses sinergi di antara para pelaku tersebut tidak dilakukan. (Oleh: Prof. Dr. Hardinsyah, MS)

sumber : http://fema.ipb.ac.id/index.php/lingkungan-masyarakat-dan-tanggung-jawab-sosial-perusahaan-csr/

Etika Bisnis

Pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan suatu bidang perilaku manusia yang penting.

Apa yang diharapkan dan mengapa kita mempelajari Etika Bisnis?

Menurut K. Bertens, ada 3 tujuan yang ingin dicapai, yaitu :

1. Menanamkan atau meningkakan kesadaran akan adanya demensi etis dalam bisnis. Menanamkan, jika sebelumnya kesadaran itu tidak ada, meningkatkan bila kesadaran itu sudah ada, tapi masih lemah dan ragu. Orang yang mendalami etika bisnis diharapkan memperoleh keyakinan bahwa etika merupakan segi nyata dari kegiatan ekonomis yang perlu diberikan perhatian serius.

2. Memperkenalkan argumentasi moral khususnya dibidang ekonomi dan bisnis,

serta membantu pebisnis/calon pebisnis dalam menyusun argumentasi moral yang tepat. Dalam etika sebagai ilmu, bukan Baja penting adanya norma-norma moral, tidak kalah penting adalah alasan bagi berlakunya norma-norma itu. Melalui studi etika diharapkan pelaku bisnis akan sanggup menemukan fundamental rasional untuk aspek moral yang menyangkut ekonomi dan bisnis.

3. Membantu pebisnis/calon pebisnis, untuk menentukan sikap moral yang tepat didalam profesinya (kelak).

Hal ketiga ini memunculkan pertanyaan, apakah studi etika ini menjamin seseorang akan menjadi etis juga? Jawabnya, sekurang-kurangnya meliputi dua sisi berikut, yaitu disatu pihak, harus dikatakan : etika mengikat tetapi tidak memaksa. Disisi lain, studi dan pengajaran tentang etika bisnis boleh diharapkan juga mempunyai dampak atas tingkah laku pebisnis. Bila studi etika telah membuka mata, konsekuensi logisnya adalah pebisnis bertingkah laku menurut yang diakui sebagai hal yang benar.

Tiga aspek pokok dari bisnis yaitu : dari sudut pandang ekonomi, hukum dan etika.

1. Sudut pandang ekonomis.

Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi disini adalah adanya interaksi antara produsen/perusahaan dengan pekerja, produsen dengan konsumen, produsen dengan produsen dalam sebuah organisasi. Kegiatan antar manusia ini adalah bertujuan untuk mencari untung oleh karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi dilakukan melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak. Dari sudut pandang ekonomis, good business adalah bisnis yang bukan saja menguntungkan, tetapi juga bisnis yang berkualitas etis.

2. Sudut pandang moral.

Dalam bisnis, berorientasi pada profit, adalah sangat wajar, akan tetapi jangankeuntungan yang diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain. Tidak semua yang bisa kita lakukan bolehdilakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan, bahwa dengan itu kita sendiri tidak dirugikan, karena menghormati kepentingan dan hak orang lain itu juga perlu dilakukan demi kepentingan bisnis kita sendiri.

3. Sudut pandang Hukum

Bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga terikat dengan "Hukum" Hukum Dagang atau Hukum Bisnis, yang merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam hubungan bisnis, pada taraf nasional maupun international. Seperti etika, hukum juga merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu bila terjadi pelanggaran. Bahkan pada zaman kekaisaran Roma, ada pepatah terkenal : "Quid leges sine

moribus" yang artinya : "apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas "

Lalu apa tolok ukur bahwa bisnis itu baik menurut tiga sudut pandang tadi?

Untuk sudut pandang ekonomis, jawaban pertanyaan ini lebih mudah, yaitu bila bisnis memberikan profit, dan hal ini akan jelas terbaca pada laporan rugi/laba perusahaan di akhir tahun. Dari sudut pandang hukum pun jelas, bahwa bisnis yang baik adalah yang diperbolehkan oleh sistem hukum yang berlaku. (penyelundupan adalah bisnis yang tidak baik). Yang lebih sulit jawabnya adalah bila bisnis dilihat dari sudut pandang moral. Apa yang menjadi tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan bisnis.
Dari sudut pandang moral, setidaknya ada 3 tolok ukur yaitu : nurani, Kaidah Emas, penilaian umum.

1.Hati nurani:

Suatu perbuatan adalah baik, bila dilakukan susuai dengan hati nuraninya, dan perbuatan lain buruk bila dilakukan berlawanan dengan hati nuraninya. Kalau kita mengambil keputusan moral berdasarkan hati nurani, keputusan yang diambil "dihadapan Tuhan" dan kita sadar dengan tindakan tersebut memenuhi kehendak Tuhan.

2. Kaidah Emas :

Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan Kaidah Emas (positif), yang berbunyi : "Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan" Kenapa begitu? Tentunya kita menginginkan diperlakukan dengan baik. Kalau begitu yang saya akan berperilaku dengan baik (dari sudut pandang moral). Rumusan Kaidah Emas secara negatif : "Jangan perlakukan orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda" Saya kurang konsisten dalam tingkah laku saya, bila saya melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang saya tidak mau akan dilakukan terhadap diri saya. Kalau begitu, saya berperilaku dengan cara tidak baik (dari sudut pandang moral).

3. Penilaian Umum :

Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada masyarakat umum untuk menilai. Cara ini bisa disebut juga audit sosial. Sebagaimana melalui audit dalam arti biasa sehat tidaknya keadaan finansial suatu perusahaan dipastikan, demikian juga kualitas etis suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum.

sumber : http://www.scribd.com/doc/18575776/ETIKA-BISNIS

Minggu, 24 Oktober 2010

Contoh Kasus Pelanggaran Etika Bisnis : Maraknya Peredaran Makanan dengan Zat Pewarna Bahaya

Maraknya Peredaran Makanan Dengan Zat Pewarna Berbahaya

DEPOK - Hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan Kota Depok menyebutkan, sebanyak tujuh pasar tradisional di Depok terbukti menjual bahan pangan yang mengandung zat berbahaya.Sebelum diuji, Dinkes mengambil sample di puluhan pedagang di pasar tradisional dengan menggunakan enam parameter bahan tambahan yaitu, boraks, formalin, rodhamin, methanil yellow (pewarna tekstil), siklamat (pemanis buatan), serta bakteri makanan.Kepala Seksi Pengawasan Obat dan Makanan Dinas Kesehatan Kota Depok, Yulia Oktavia mengatakan, enam parameter tambahan pangan berbahaya tersebut dilarang digunakan untuk campuran makanan lantaran akan menyebabkan penyakit kanker dalam jangka panjang serta keracunan dalam jangka pendek. "Harus nol sama sekali seluruhnya, karena sangat berbahaya bagi kesehatan." Ujar Yulia kepada okezone, Sabtu (3/10/2009).Yulia menambahkan, makanan yang dijual para pedagang di pasar dan terbukti menggunakan bahan tambahan pangan berbahaya di antaranya, mie basah, bakso, otak-otak, kwetiau, tahu kuning, pacar cina, dan kerupuk merah."Yang paling parah ada kerupuk merah atau kerupuk padang yang biasa digunakan di ketupat sayur, itu ada di lima pasar, dan terbukti menggunakan rodhamin atau pewarna tekstil," paparnya.Langkah selanjutnya, kata Yulia, pihaknya akan mengumpulkan seluruh pedagang untuk dibina mengenai keamanan pangan dan makanan jajanan sehat. Setelah itu, baru diterapkan sanksi hukum pidana sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Keamanan Pangan. Sanksinya bisa berupa kurungan penjara.Tujuh pasar yang terbukti menjual pangan mengandung bahan tambahan pangan berbahaya diantaranya, Pasar Musi, Dewi Sartika, Mini, Sukatani, Cisalak, Kemiri Muka, dan Depok Jaya. Sebagian di antaranya, berasal dari produsen di daerah Depok maupun Bogor.
Keberadaan peraturan daerah (perda) tentang makanan dan minuman yang diperbolehkan dijual di kantin sekolah tidak menjamin hilangnya praktik-praktik ilegal penambahan zat campuran pada makanan anak-anak itu.Karena itu yang harus dikedepankan adalah penegakan payung hukum yang sudah ada. "Regulasi itu sudah ada, baik dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan menteri. Yang perlu adalah penegakan hukumnya," ujar Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail di Depok, Jawa Barat, Kamis (11/6/2009).Lontaran Nurmahmudi merupakan respons atas wacana perlunya dibuat perda khusus tentang jajanan di sekolah lantaran maraknya praktik penambahan bahan tambahan makanan yang berbahaya dalam jajanan sekolah. Nurmahmudi menjelaskan, Menteri Kesehatan pada tahun 1987 telah mengeluarkan peraturan tentang bahan-bahan yang boleh digunakan sebagai bahan makanan tambahan. Karena itu, pemerintah tinggal melakukan pembinaan kepada produsen maupun konsumen.Yang menjadi tantangan, tambah Nurmahmudi, adalah melakukan pengawasan terhadap para produsen. Jika industri makanan tersebut legal, dalam artian alamat pabriknya jelas dan memiliki izin usaha, maka pemerintah bisa dengan mudah melakukan pembinaan. "Yang jadi masalah kalau produk itu tidak berlabel, tidak beralamat, maka perlu kerja keras dari berbagai pihak," katanya.Ke depannya, Nurmahmudi berjanji pemeriksaan jajanan di Depok tidak hanya terbatas pada jajanan anak SD saja. Tapi juga akan merambah kantin-kantin di perkantoran. "Untuk sementara kita pilih anak SD karena ini bagian dari upaya menyelamatkan generasi ke depan," jelasnya.Dinas Kesehatan Depok beberapa hari lalu melakukan pengambilan sampel jajanan ke 30 kantin SD di Kota Depok. Hasilnya 30 persen sampel positif mengandung boraks, 16 persen mengandung formalin, tiga persen mengandung siklamat, metanil yellow, dan rodamin. Untuk bahan boraks umumnya ditemukan pada produk krupuk putih, bakso, dan nuggets.Sementara zat formalin ditemukan pada nugget dan mie. Zat siklamat yang jumlahnya melebihi takaran ada pada produk es sirup dan es mambo. Untuk zat metanil yellow (pewarna kuning) dan rodamin (pewarna merah) atau yang lebih dikenal sebagai pewarna tekstil ditemukan pada permen karet.

( sumber : OkeZone.com )

Sumber : http://pipitindriani.blogspot.com/2009/11/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis.html

Perlunya Berbisnis dengan Etika

Sebenarnya, keberadaan etika bisnis tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan “remeh” seperti, “Saya belanja Rp 50.000 tapi cuma ditagih Rp 45.000. Perlu nggak saya lapor?”, atau, “Bisakah saya melakukan tindakan tidak etis/melanggar hukum untuk meningkatkan kinerja divisi saya?”, atau, “Should I accept this gift or bribe that is being given to me to close a big deal for the company?“, atau, “Is this standard we physicians have adopted violating the Hippo-cratic oath and the value it places on human life?“, dan pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya.

Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.

Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.

Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.

· Kita Sebagai Pebisnis

Kasus yang paling gampang adalah Enron — yang begitu sering didiskusikan di ruang kuliah. Sebenarnya, Enron adalah perusahaan yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi.

Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark spread“.

Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis. Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen.

Masyarakat akhirnya juga lebih aware terhadap pasar modal. Pemerintah pun juga makin hati-hati dalam melakukan pengawasan. Penyempurnaan terhadap sistem terus dilakukan. Salah satunya adalah lahirnya Sarbanes-Oxley Act. Akibat mendzolimi pelaku pasar lainnya, Enron akhirnya terkapar karena melakukan penipuan dan penyesatan. Pun bagi “Enron-wannabe” lainnya, perlu berpikir ulang dua-tiga kali untuk melakukan hal serupa. Memang benar. Kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuhi oleh orang-orang jujur, berhati mulia, dan bebas dari akal bulus serta kecurangan/manipulasi. Tetapi sungguh, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan etika dan aspek spiritual. Biarlah pemerintah melakukan pengawasan, biarlah masyarakat memberikan penilaian, dan sistem pasar (dan sistem Tuhan tentunya) akan bekerja dengan sendirinya.

· Kita Sebagai Konsumen

Ini yang lebih penting.

Memang benar, tidak ada yang bisa menjadi produsen (atau konsumen) selamanya. Ada kalanya kita berada dalam posisi sebagai penjual dan ada kalanya kita sebagai pembeli. Saya sendiri, lebih sering berada dalam posisi sebagai konsumen — alih-alih sebagai seorang produsen.

Kembali ke kasus Morgan di atas, persaingan bisnis yang kian sengit memang mengakibatkan terdistorsinya batas-batas antara right-wrong atau good-bad. Lumrah sekali kita jumpai praktik bisnis yang menembus area abu-abu. Tidak jarang pula kampanye pemasaran begitu gencar digalakkan sehingga membuat kita bahkan tidak bisa mengenali diri kita sendiri. Kita “dipaksa” membeli barang yang kita tidak perlu. Kita “senang” mengonsumsi produk yang sebenarnya justru merusak diri kita. Kita “bahagia” memakai produk luar negeri sementara industri dalam negeri mulai kehabisan nafas.

Kompas beberapa waktu lalu pernah mengulas tentang gencarnya cengkeraman kapitalisme membelenggu negara-negara yang baru berkembang seperti Indonesia. Korbannya adalah masyarakat strata menengah dan masyarakat strata “agak bawah” yang “memaksakan diri” untuk masuk ke level yang lebih tinggi. Secara fundamental ekonomi, pengaruhnya jelas tidak baik karena ekonomi yang didasarkan pada tingkat konsumsi yang besar (apalagi dibiayai oleh utang) benar-benar rawan. Secara sosial, jelas fenomena ini akan menimbulkan pergeseran dan rentan terhadap benturan yang dampak turunannya sebenarnya cukup mengerikan. Maka tak perlu heran jika di jaman sekarang seorang anak kecil akan lebih faham kosakata “starbucks”, “breadtalk”, “orchard road”, “gucci”, daripada kosakata lain seperti “gudeg”, “bunaken”, “senggigi”, “ketoprak”, dan sebagainya. Kita secara tidak sadar mengkiblatkan diri pada produk/jasa yang sebenarnya tidak terlalu bagus — melainkan karena praktik pemasaran dan operasional bisnis yang seringkali melanggar batas-batas etika.

Sebenarnya tidak ada yang “salah” dengan kapitalisme. Kapitalisme, yang didasarkan pada perdagangan, disebut Adam Smith sejak lama sebagai kunci kemakmuran. Ide ini sudah dibuktikan secara empiris oleh para akademisi. Dengan adanya perdagangan, maka spesialisasi, penghargaan, kebersamaan, perdamaian, serta kemakmuran bisa tercapai. Yang salah adalah ketika kapitalisme dijalankan dengan melanggar etika sehingga menodai nilai-nilai murni perdagangan itu sendiri.

Belajar dari pengalaman Morgan, sebagai konsumen kita memang harus mulai belajar untuk aware terhadap praktik-praktik bisnis yang melanggar batas-batas etika. Karena pada akhirnya konsumen selalu berada dalam posisi yang dirugikan. Sementara produsen memiliki kesempatan berkelit yang lebih banyak. The winner takes all. Padahal, sebenarnya kita nggak perlu malu mengonsumsi tahu, tempe, atau daun singkong, sementara teman-teman kita makan di restoran fast food. Biarlah kita mengenakan produk dalam negeri sementara orang lain pakai Versace, Bvlgari, atau Luis Vuitton. Tidak ada yang akan menghukum kita hanya karena ponsel kita lebih lawas daripada milik rekan kita. Kita tidak perlu ganti mobil hanya karena tetangga kita barusan beli mobil baru. Kita juga tidak harus membeli rumah yang lebih besar sementara kita sendiri sebenarnya sudah cukup nyaman dengan rumah yang ada.

Dan percayalah. Tidak ada yang lebih tahu dan mengenal diri kita kecuali Tuhan dan diri kita sendiri.

sumber : http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/

Apa itu etika bisnis?

Kata "etika" dan "etis" tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan karena itu pula "etika bisnis" bisa berbeda artinya.

Etika sebagai praksis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Sedangkanetis, merupakansifat daritindakan yang sesuaidengan etika.

Peranan Etika dalam Bisnis :

Menurut Richard De George, bila perusahaan ingin sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok yaitu :
1. Produk yang baik
2. Managemen yang baik

3. Memiliki Etika

Selama perusahaan memiliki produk yang berkualitas dan berguna untuk masyarakat disamping itu dikelola dengan manajemen yang tepat dibidang produksi, finansial, sumberdaya manusia dan lain-lain tetapi tidak mempunyai etika, maka kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi perusahaan tsb. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat modern. Tetapi kalau merupakan fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk juga aturan-aturan moral.

Mengapa bisnis harus berlaku etis ?

Tekanan kalimat ini ada pada kata "harus". Dengan kata lain, mengapa bisnis tidak bebas untuk berlaku etis atau tidak? Tentu saja secara faktual, telah berulang kali terjadi hal-hal yang tidak etis dalam kegiatan bisnis, dan hal ini tidak perlu disangkal, tetapi juga tidak perlu menjadi fokus perhatian kita. Pertanyaannya bukan tentang kenyataan faktual, melainkan tentang normativitas : seharusnya bagaimana dan apa yang menjadi dasar untuk keharusan itu.

Mengapa bisnis harus berlaku etis, sebetulnya sama dengan bertanya mengapa manusia pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis disini hanya merupakan suatu bidang khusus dari kondisi manusia yang umum.

Jawabannya ada tiga yaitu :

1. Tuhan melalui agama/kepercayaan yang dianut, diharapkan setiap pebisnis akan dibimbing oleh iman kepercayaannya, dan menjadi tugas agama mengajak para pemeluknya untuk tetap berpegang pada motivasi moral.

2. Kontrak Sosial, umat manusia seolah-olah pernah mengadakan kontrak yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang pada norma-norma moral, dan kontrak ini mengikat kita sebagai manusia, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa melepaskan diri daripadanya.

3. Keutamaan, Menurut Plato dan Aristoteles, manusia harus melakukan yang baik, justru karena hal itu baik. Yang baik mempunyai nilai intrinsik, artinya, yang baik adalah baik karena dirinya sendiri. Keutamaan sebagai disposisi tetap untuk melakukan yang baik, adalah penyempurnaan tertinggi dari kodrat manusia. Manusia yang berlaku etis adalah baik begitu saja, baik secara menyeluruh, bukan menurut aspek tertentu saja.

sumber : http://www.scribd.com/doc/18575776/ETIKA-BISNIS

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan oleh para pengusaha dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, untuk berkembang dan untuk mendapatkan laba. Berhasil tidaknya dalam pencapaian tujuan bisnis tergantung kepada keahlian pengusaha dibidang pemasaran, produksi, keuangan maupun dibidang lain. Selain itu tergantung pula kemampuan pengusaha untuk mengkombinasikan fungsi-fungsi tersebut agar perusahaan dapat berjalan lancar.

Strategi pemasaran begitu penting dalam menentukan keberhasilan penjualan produk dari suatu perusahaan umumnya dan khususnya pada bidang bagian pemasaran. Strategi pemasaran juga harus memberikan gambaran yang cukup jelas dan mempunyai arah yang jelas agar dapat menggunakan setiap peluang dan panduan yang tepat sasaran pada beberapa peluang sasaran pasar yang akan dibidik.

Mengingat pentingnya strategi pemasaran produk dalam memperkenalkan produk dan memenangkan persaingan maka perusahaan harus dapat membuat strategi pemasaran produk yang efektif dan efisien sehingga dapat menarik para konsumen. Dalam penulisan ini toko yang dijadikan sebagai sumber data dalam penulisan adalah TOKO MASARO OTO BAN, RADIO DALAM, JAKARTA.

Untuk itu judul yang diberikan dalam penulisan Laporan Kerja Praktek ini adalah “STRATEGI PEMASARAN PRODUK VELG DAN BAN MOBIL PADA TOKO MASARO OTO BAN, RADIO DALAM, JAKARTA”

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah penerapan Strategi Pemasaran Produk Velg dan Ban Mobil Pada Toko Masaro Oto Ban?”.

1.3 Tujuan

Adapun tujuan adalah :

1. Mengetahui masalah yang dihadapi Toko Masaro Oto Ban dalam pemasaran produknya kepada konsumen.

2. Mengetahui cara penerapan strategi pemasaran produk yang digunakan oleh Toko Masaro Oto Ban.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kerangka Teori

2.1.1 Pengertian Pemasaran

Pemasaran merupakan salah satu bidang kegiatan yang cukup penting dalam perusahaan dimana dengan pemasaran akan menunjang keberhasilan tujuan perusahaan. Pemasaran sering diartikan dengan penjualan. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan definisi pemasaran menurut pendapat beberapa ahli:

1. Menurut Eva Zhoriva Yusuf dan Lesley Williams (2007,26), Pemasaran dalam pengertian luas adalah semua kegiatan yang dirancang untuk mendorong dan mengelola segala pertukaran untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan kita. Sedangkan dari perspektif bisnis yang lebih sempit pemasaran dapat didefinisikan sebagai sebuah keseluruhan system kegiatan bisnis yang dirancang untuk menyediakan sesuatu bagi kelompok, individu, atau organisasi yang memuaskan mereka, guna mencapai tujuan organisasi.

2. Menurut Basu Swastha Dharmmesta dan T. Hani Handoko (1982:4), Pemasaran adalah suatu sitem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial.

3. Menurut Wiliam J. Stanton (1984;10), Pemasaran adalah suatu system keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis ditujukan untuk mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli pontensial

2.2 Pengertian Bauran Pemasaran

Salah satu unsur dalam startegi pemasaran terpadu adalah strategi Marketing Mix atau bauran pemasaran yang merupakan strategi yang dijalankan perusahaan yang berkaitan dengan penentuan bagaiman perusahaan mangajukan penawaran produk pada sekmen tertentu yang merupakan pasar sasaran.

Menurut Basu Swastha(1996:42) : Bauran Pemasaran adalah Kombinasi dari empat variabel atau kegiatan yang merupakan inti dari sistim pemasaran perusahaan.

Keempat variable strategi pemasaran adalah :

1. Produk

Produk merupakan elemen yang paling penting karena dengan produk perusahaan dapat memenuhi kebutuhan dari keinginan konsumen. Produk dapat dikatakan sebagai pemahaman yang bias ditawarkan sebagai usaha mencapai tujuan organisasi melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen seuai daya beli pasar.

2. Harga

Harga merupakan satu-satunya unsur dalam pemasaran yang memberikan pemasukan atau pendapatan bagi perusahaan sedangkan ketiga unsure lainnya ( produksi, promosi dan disrtibusi ) menyebabkan timbulnya biaya atau persaingan

3. Distribusi

Setelah produk dan harga selanjutnya adalah penetapan mengenai cara penyampaian produk tersebut kepada konsumen (pendistribusian). Sehingga pemilihan saluran distribusi dengan tepat akan mampu meningkatkan penjualan.

4. Promosi

Promosi merupakan salh satu factor paling penting penentu keberhasilan suatu kegiatan. Karena betapapun kualitasnya suatu pruduk bila kosumen belum pernah mendengarnya 3dan tidak yakin produk itu akan berguna bagi mereka,mereka tidak akan membelinya.

Keempat strategi diatas saling mempengaruhi sehingga semuanya penting sebagai satu kesatuan strategi yaitu strategi bauran pemasaran dalam menggunakan variabel-variabel pemasaran yang dapat dikendalikan oleh pimpinan perusahaan untuk mencapai tujuan pemasaran dalam bidang pemasaran.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah pada Toko .Masaro Oto Ban, di JL.H.Nawi Raya No.7 Radio Dalam Jakarta Selatan.

3.2 Data / Variabel Yang Digunakan

Data yang digunakan dalam penyusunan penulisan ilmiah ini adalah data primer dan data sekunder, data primer diperoleh langsung dari perusahaan, dan data sekunder diperoleh melalui buku bacaan yang ada hubungannya dengan materi penelitian ini.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpuan data yang digunakan penulis yaitu dengan cara sebagai berikut:

1. Studi Lapangan

Untuk memperoleh data yang lengkap penulis berusaha mendatangi secara langsung ke objek penelitian dengan mengadakan :

a. Observasi yaitu mengadakan pengamatan secara langsung ditempat penelitian dan mengamati aktivitasnya.

b. Wawancara yaitu melakukan wawancara langsung dengan sumber data dan informasi, seperti sekretaris atau pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah yang di bahas.

2. Studi pustaka

Penulis membaca buku-buku referensi, dan catatan yang berhubungan dengan materi penelitian ini.